Perbandingan Mimesis, Ekspresi dan Formalisme
Dalam memahami seni rupa, ada beberapa hal mendasar seperti: Apa itu seni rupa? Mengapa karya seni rupa diproduksi? Mengapa sesuatu yang dilihat dilukiskan? Mengapa kita harus melihat karya seni rupa? Bagaimana cara melihat suatu karya seni rupa? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat terangkum dalam ilmu estetika, ilmu yang mempelajari tentang seni, keindahan, dan rasa.
Estetika memiliki peranan penting dalam membandingkan teori mimesis, ekspresi dan formalisme yang selanjutnya akan dibahas. Teori-teori tersebut merupakan usaha untuk membekukan pengertian seni menjadi suatu pernyataan utuh yang tidak dapat dikuliti lagi. Akan tetapi, selalu ada celah pada tiap teori yang menarik untuk dibahas dan menjadi topik dari esai ini.
Semua bermula dari Plato, yang dengan skeptis merasa tidak aman terhadap seni, terutama sastra, karena dianggap memberikan ilusi terhadap kenyataan asli, meskipun seni pada dasarnya meniru alam. Peniruan inilah yang disebut sebagai mimesis. Kenyataan yang dihadirkan oleh para seniman tidak sama dan jauh dari kenyataan yang satu, yakni dunia yang diciptakan oleh Tuhan, sementara filsuf seperti Plato bergulat dalam mencari kebenaran.
Aristoteles, murid Plato, justru bertolakbelakang dengan pernyataan tersebut. Beliau mengartikan mimesis sebagai kesempurnaan dan tiruan dari alam. Dunia tidak permanen, seperti pendapat filsuf Yunani Kuno, Heraklitus, sehingga menurut Aristoteles seni bertugas untuk mengabadikan peristiwa-peristiwa dalam alam. Eksagerasi pada karya seni dianggap penting (namun itulah ditakutkan oleh Plato), di mana permainan emosi para penonton yang membuat karya seni tersebut menarik terjadi karena hal-hal yang tidak terjadi pada dunia nyata ditampilkan. Pengalaman estetik timbul karena keseimbangan persamaan dan kenyataan yang berlebihan tersebut.
Mimesis berkutat hanya pada karya seninya saja, sehingga posisi sang seniman menjadi tidak penting. Di sinilah kekurangan dari teori mimesis, yang mengganggap semua karya seni meniru dari alam, tapi tidak mampu menghadirkan kenyataan yang sebenarnya. Teori merupakan respon terhadap lingkungan yang ada. Pada era kuno, para seniman dijadikan ”kuli” terhadap kekuasaan yang ada pada saat itu (untuk membuat kuil, patung-patung simbol, kisah-kisah heroik, dll) sehingga menjelaskan banyaknya karya-karya yang anonim. Ekspresi personal belum menjadi perhatian yang luas.
Gambar 1. Sebuah lukisan anonim di Itali yang dibuat atas nama dinasti/era/agama, bukan perseorangan
Masuk era modern, para filsuf mulai mempertimbangkan teori ekspresi dalam seni rupa yang dipelopori oleh penulis Leo Tolstoy. Tolstoy menulis esai “What is Art?” pada tahun 1897, yang merupakan kritiknya kepada pendapat tentang seni yang masih berputar pada baik, benar, dan keindahan. Menurutnya seni harus memberikan hubungan emosi kepada penontonnya. Beliau menekankan fungsi seni sebagai media komunikasi untuk menyampaikan suatu konsep moral. Benedetto Croce, filsuf Italia, di kesempatan berbeda berpendapat yang sama dalam Breviario di estetica (The Essence of Aesthetic) tahun 1912, di mana beliau mengagung-agungkan seni dibandingkan sains, karena menurutnya hanya seni yang bisa memperbaiki akhlak manusia. Pernyataan Tolstoy dan Croce meninspirasi seorang Robin George Collingwood muda, sehingga dalam bukunya The Principles of Art pada tahun 1958, beliau menyatakan seni adalah ekspresi dari emosi. Seni merupakan bagian penting dari kesadaran manusia. Pendapat-pendapat tadi senada pernyataan filsuf estetika ternama Hegel, yakni pikiran menyadari pikiran itu sendiri dalam proses berkesenian.
Konsep emosi inilah yang membedakan seni murni dengan kria. Seni sebagai penyampai emosi tentu berbeda dengan kria yang diharuskan bersifat fungsional dan “menyelesaikan masalah” atau mengutamakan desain. Dari sini jugalah yang menimbulkan beberapa pendapat kritikus modern bahwa lukisan potret tidak bisa dikelaskan sebagai seni, tetapi craft.
Kelebihan pengangkatan sisi personal ini juga merupakan kelemahan dari teori ini. Lukisan potret juga bisa menjadi suatu lukisan yang bagus secara estetis, di mana para pelukis potret ternama juga merupakan pelukis hebat seperti Raphael dan Velasquez, Rembrandt dan Hals, Rubens dan Van Dyck, Reynolds dan Gainsborough (Talbot Rice, 1955, 23-24). Lukisan yang komunikatif dan ekspresif juga mejadi rancu, karena konten artistik dari lukisan tidak dipentingkan.
Gambar 3.Velazquez, Pope Innocent X,1650
Mimesis menjawab masalah konten dari suatu karya seni, namun tidak bisa menerangkan proses dari sang seniman. Teori ekspresi mengutamakan seni sebagai bagian dari keadaan psikologis manusia, tetapi gagal dalam mengutamakan isi dari hasil karya sang manusia. Sekarang fokus berpindah dari apa itu seni-siapa yang melakukan, menjadi bagaimana hasil karya seni rupa itu?
Perhatian terhadap hasil dari karya seni rupa tersebut menghasilkan analisis terhadap bentuk atau form dan gaya yang ada pada karya tersebut. Studi tersebut dinamakan formalisme. Pada formalisme, yang diutamakan adalah aspek visual, seperti warna, garis, volume, tekstur, komposisi, massa, dan jarak. Aspek-aspek lain seperti unsur geografis, dorongan sang seniman atau sejarah menjadi tambahan, yang bertahap datang dengan sendirinya dalam proses memahami unsur-unsur visual tadi.
Dengan standar tersebut, formalisme dirasa lebih “adil” sebagai teori untuk memahami seni, dibandingkan dengan mimesis dan ekspresi. Formalisme mengangkat rupa dari karya seni tersebut, sedangkan mimesis dan ekspresi memusatkan hal eksternal seperti objek dan subjek dari hasil karya seni tersebut. Pada mimesis, seni menjadi terbatas karena yang ditiru hanya alam secara fisik, bentuk-bentuk abstrak dan imajinatif menjadi haram dalam paham ini. Di ekspresi, hasil karya tidak menjadi yang utama, karena seni dilihat sebagai bagian dari kebutuhan psikologis, penumpahan emosi manusia pada sebuah media yang kasat mata.
Namun, bukan berarti mimesis dan ekspresi menjadi teori yang “salah”. Teori-teori tersebut dapat diterapkan pada aliran-aliran seni rupa sebagai cara untuk melihat suatu karya seni. Mimesis sering disebutkan bersamaan dengan realis dan naturalis, di mana yang kemiripan dengan benda-benda di alam yang menjadi kekuatan karya seni rupa tersebut. Pada dua karya di kanan dan kiri, The Bathers karya Henry Scott Tuke, seniman asal Inggris dan Night Scene karya pelukis Barok Peter Paul Rubens, memperlihatkan pendekatan yang sama dalam melukis, yakni detail, pengaturan gelap terang yang realistis. Tak hanya sebatas figur, Lukisan Mooi Indie di bagian bawah juga menunjukkan usaha mimesis terhadap pemandangan alam di sekitar Gunung Galunggung. Walaupun ketiga karya ini meniru alam, terdapat elemen-elemen artistik yang dirasa tidak bisa ditemukan di dunia nyata. Pencahayaan dan pemilihan palet warna yang indah menjadi unsur eksagerasi yang dimaksud Aristoteles sehingga menghasilkan pengalaman estetis.
Gambar 4. Henry Scott Tuke, The Bathers, 1888
Gambar 5. Peter Paul Rubens, Night Scene, 1617
Gambar 7. Pemandangan sekitar Gunung Galunggung, Lukisan Mooi Indie
Aliran Impresionis dan Ekspresionis dalam eksekusinya meniru alam, namun ada unsur ekspresi yang lebih kuat dibandingkan dengan karya-karya realis dan naturalis. Sisi personal sang seniman terlihat dalam unsur-unsur visual yang ada dalam karya seni rupanya. Ciri ekspresif bukan sekadar terlihatnya “kesewenang-wenangan” sang seniman, namun terlihat ketegasan, keberanian, intensi dari tiap goresan, pahatan, sapuan, semprotan, atau segala tindakan artistik sang seniman kepada karyanya. Sebagai contoh, Andy Warhol menggunakan bahan tak lazim seperti urin sebagai salah satu material dalam karyanya.
Gambar 8. Andy Warhol menggunakan urin dalam karya potret Jean-Michel Basquiat-nya
Sampainya emosi sang seniman kepada penonton seperti yang dimaksudkan Tolstoy mungkin bisa digambarkan dengan salah satu lukisan paling fenomenal, The Scream karya Edvard Munch. Munch sendiri mengaku lukisan tersebut melambangkan kelelahan emosionalnya, titik puncak dari depresinya. Emosi dari lukisan tersebut sangat kuat hingga lukisan ini menjadi salah satu mahakarya ikonik, disebut-sebut sebagai interpretasi kegelisahan manusia modern, hingga menjadi salah satu lukisan paling mahal dalam sejarah perlelangan.
Gambar 9. Edvard Munch, The Scream, 1893
Camille Pissaro dan Paul Cezanne, dua seniman Post-Impresionis yang paling penting hingga sekarang, melukis still-life dalam lokasi yang sama di Orchard, Côte Saint-Denis, di Pontoise pada tahun 1877. Terdapat kualitas yang berbeda, meskipun dilakukan secara bersamaan di tempat yang sama. Keduanya melakukan mimesis terhadap lanskap di Pontoise, namun karakter yang berbeda dari tiap seniman menghasilkan ekspresi dan form yang berbeda. Pissaro melihat pemandangan tersebut sebagai titik-titik kecil gelap terang dengan warna-warna dingin, Cezanne melihatnya sebagai blok-blok berbentuk dengan warna hangat. Pissaro melakukan pendekatan yang halus, terlihat dari perpindahan warna yang lembut dan garis-garis yang kurus dan kecil, Cezanne dengan impresi-impresi blok warna yang kasar, namun menjadi keindahan tersendiri.
Gambar 10. (kiri) Paul Cezanne, (kanan) Camille Pissaro
Kesimpulan:
Teori-teori tersebut merupakan respon terhadap permasalahan yang ada pada masanya dan merupakan antithesis dari teori yang sebelumnya. Masing-masing mememiliki kelebihan dan kekurangan. Teori-teori tersebut tidak sepenuhnya salah, namun dapat dikombinasikan dan dijadikan alat analisis terhadap suatu karya seni.